Sunday, June 17, 2012

Belajar dari Cerita Pewayangan



       Sering kita mendengar orang-orang di sekitar kita berbicara cinta. Cinta sebagai cinta. Cinta sebagai kata. Apa itu cinta?  Sulit memang ketika kita harus mendefinisakan apa itu cinta. Karena setiap orang memiliki definisi yang berbeda. Tergantung dengan apa yang dirasa dan dialami. Ketika kita mencoba mendefinisikan cinta yang menurut kita berlaku secara universal, kemudian kita paksakan kepada seseorang untuk mencintai sebagaimana pemahaman kita tentang cinta. Maka yang terjadi adalah sebuah ketimpangan dalam hubungan itu, bukan sebuah keharmonisan.
Sahabat pembaca mungkin sering mendengar kalimat “cinta tak selalu memiliki”. Ya, cinta memang bukan berarti memiliki. Misalnya begini, ketika Mira menyintai Aldi, bukan berarti Aldi harus selalu melakukan apa yang diinginkan oleh Mira. Ketika Mira marah karena Aldi tidak melakukan apa yang diinginkannya, maka sejatinya Mira tidaklah menyintai Aldi, melainkan Mira menyintai diri sendiri. Kok bisa begitu? Andai kata Mira benar-benar menyintai Aldi, tentu saja dia tidak akan melarang apa yang akan dikerjakan oleh Aldi. Kalau dia melarang begini dan begitu, maka Mira mencoba membuat Mira baru yang bersemayam dalam tubuh Aldi.
Dengan kata lain, Mira menyintai dirinya sendiri. Lantas, apa itu cinta? Ketika kita menyintai seseorang, apa pun yang ia kerjakan, dan bagaimana ia, kita terima apa adanya. Meskipun dia tidak bersama kita. Cinta bukanlah berarti kepemilikan, karena cinta berarti sebuah pengabdian terhadap sesuatu yang kita cintai.
Dalam cerita wayang, kita bisa belajar arti cinta Werkudara kepada gurunya, Dhurna. Kita bisa melihat bagaimana Werkudhara begitu menyintai gurunya. Suatu ketika Werkudara sedang dalam kegalauan. Padahal kondisi pemerintahan sedang kacau balau, dan saudaranya terancam kalah dalam perang. Rupanya, ia sedang bingung, mencari apa itu  jimat kalimat shada. Ia mendatangi gurunya. Guru Dhurna yang berada dalam barisan lawan (Kurawa) berusaha menyelakai Werkudara. Ia meminta muridnya  menyelam ke dasar lautan, dengan maksud agar Kurawa dengan mudah mengalahkan Pandawa. Karena cintanya kepada gurunya, ia melaksanakan apa yang diperintahkan gurunya. Cintanya yang tulus, membawanya bertemu dengan Sang Cinta.

       Kita semua hadir di dunia ini tanpa pernah bisa memilih. Apa kelamin kita? lahir dari rahim siapa? Miskin ataukah kaya? Berkebangsaan apa? Dan segala pilihan yang tidak mungkin lainnya. Kita hidup sekadar menjalani apa yang seharusnya kita jalani. Tak ada yang abdi. Semua berjalan beriringan dengan roda waktu yang terus berputar. Kelucuan masa kecil kita, hilang ketika kita menginjak usia remaja. Kulit mulus dan kenyal kita, hilang kala tua. Kesombongan dan keperkasaan kita, lebur ketika kita masuk dalam liang lahat. Lantas kenapa kita harus membuat orang melakukan apa yang kita inginkan, toh sejatinya semua hanyalah titipan. Ketika Empunya mengambil titipan itu, kita tidak bisa berbuat apa-apa. Dan tak sepantasnya kita mengeluhkannya.

No comments:

Post a Comment