Sunday, June 17, 2012




              Perjalan kesusastraan yang berlangsung di tanah nusantara sudah berlangsung sekian lama. Mulai dari zaman Majapahit hingga zaman modern ini, sastra mempunyai warna yang berbeda-beda. Semua tidak terlepas dari budaya-budaya yang mempengaruhi di sekitarnya.

Pada era kejayaan Majapahit tidak banyak karya sastra yang berkembang. Pada era ini terkenal dengan karya sastra yang ditulis dalam bentuk Kakawin. Kakawin merupakan adopsi yang diambil dari kebudayaan India dari Sansekerta, yang aslinya berasal dari Kakawia menjadi kakawin di nusantara.
  Contoh Kakawin meliputi; kakawin Negarakertagama gubahan Mpu Prapanca, Kakawin gubahan Mpu Tantular dan Mpu Tanakung, yaitu Arjuna Wijaya dan Sutasoma, Puruda Santa (Mpu Tantular) serta Wretta Sancaya dan Siwaratrikalpa atau Lubdhaka (Mpu Tanakung).
Dan berikut ini adalah contoh kakawin dalam pembukaan kakawin Arjunawiwaha beserta aritnya;

Ambĕk sang paramārthapaṇḍita huwus limpad sakêng śūnyatā,
Tan sangkêng wiaya prayojñananira lwir sanggrahêng lokika,
Siddhāning yaśawīrya donira sukhāning rāt kininkinira,
santoâhĕlĕtan kĕlir sira sakêng sang hyang Jagatkāraa.
Terjemah;
Batin sang tahu Hakikat Tertinggi telah mengatasi segalanya karena menghayati Kehampaan.
Bukanlah terdorong nafsu indria tujuannya, seolah-olah saja menyambut yang duniawi.
 Sempurnanya jasa dan kebajikan tujuannya. Kebahagiaan alam semesta diperihatinkannya.
Damai bahagia, selagi tersekat layar pewayangan dia dari Sang Penjadi Dunia.

Saat Islam masuk tanah nusantara, maka berkembang suatu gaya sastra baru yang memberi warna pada kesusastraan nusantara. Tentu, karya-karya sastra yang muncul tersebut sesuai dengan gaya sastra lokal tanpa ada pengaruh dari luar kecuali muatan-muatan yang terkandung dalam sastra tersebut bercorak keislaman. Tulisan sunan Bonang, Suluk Mijil. memberikan khazanah baru dalam sastra nusantara, sebab ketika era Majapahit, karya semacam ini tidak ditemukan.

Pada masa wali songo, karya sastra berkembang dalam bentuk tembang, naskah suluk; , naskah serat, naskah babat, tembang dolanan, geguritan, dan sastra lisan. Semua bentuk sastra di atas mempunyai ciri khas sendiri-sendiri, dimana tembang adalah bentuk sastra yang paling rumit dibandingkan dengan bentuk sastra yang lain. Selain itu, orang-orang melayu sendiri juga mempunyai gaya sastra sendiri seperti pantun dan gurindam. Pada masa kolonialisme Belanda, karya sastra nusantara mulai dipengaruhi gaya sastra barat yang dikenalkan di sekolah-sekolah Belanda. Maka munculah model seperti cerpen, novel, drama, dan lain-lain. Perjalanan kesusastraan di nusantara telah berkembang sekian lama dengan gaya dan muatan masing-masing. Yang perlu kita ambil pelajaran dari tulisan ini adalah, bahwa orang-orang nusantara, khususnya orang jawa, ternyata mampu menciptakan karya sastra yang begitu indah tanpa mengikuti kebudayaan luar. Kita, sebagai orang Indonesia mestinya harus yakin terhadap kemampuan kita dengan meyakini darah para nenek moyang masih mengalirkan dalam diri kita. Dan kehebatan itu pastilah terwaris kepada kita.


Menjadi sangat ironis, ketika kita segala sesuatunya harus mengikuti gaya luar, gaya eropa, misalya. Padahal sebenarnya kita adalah orang yang tak lebih jelek dari mereka. Dan sejarah telah membuktikan bahwa para pendahulu kita adalah orang yang hebat, yang mampu menciptakan peradaban yang luhur nan agung.

No comments:

Post a Comment